Rumah adat Desa Loce adalah ciri khas adat Sahu, berbentuk Perahu Tanglaka setiap bentuk dari rumah adat tersebut memiliki makna yang menggambarkan ciri dan karateristik masyarakat adat setempat.

Rumah adat desa loce berbentuk segi delapan, Dari bentuk dan fasilitas Rumah adat tersebut memiliki karateristik dan makna yang sangat penting dan memiliki nilai filosofis sesuai dengan budaya bangsa Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Segi delapan melambangakan tanggal kemerdekaan bangsa Indonesia dari jajahan sekutu, yang tergambar pada ekor burung Garuda. Penutup rumah adat yang dipakai adalah daun rumbia (atu), Terdapat 32 tiang 8 buah ukuran 30 x 30 dan tinggi 3 Cm. empat melambangkan empat kesultanan yakni kesultanan Ternate, kesultanan Tidore, Kesultanan Bacan, dan Kesultanan Jailolo, dan empat lainya menggambar 1 Walasae menggambarkan (petinggi desa), 2. Mangimon menggambarkan Pemangku adat yang dituakan sebagai penjaga hukum, 3. Soa Raha, melambangkan para tamu dari soar aha itu sendiri, 4, Soa Siodi, melambangkan pengawas, penyelidik, atau penjaga, tujuannya supaya ada ketertiban dalam cara adat berlangsung.
Tiang-tiang kecil (ngasu ceka) bagian luar dan tengah melambangkan himpunan masyarakat adat di desa Loce, dan masyarakat umum suku sahu yang disebut Talai padusua[1] Rumah adat desa Loce, juga memiliki pilar-pilar atau penyangga rumah adat terdiri dari 6 buah balok disebut dengan Sosera, tujuannya adalah memperkuat posisi dan tegaknya rumah adat. Totora atau lata, dipakai dari pohon Nibon (pangota/baru), mengapa dipakai pohon pangota, karena pohonnya panjang dan lurus, kuat dan tahan lama, makna adalah menggambarkan keuletan walupun diterpa oleh matahari, hujan tetapi keberadaanya sangat kuat, sulit untuk rusak.
Rumah adat Loce berbentuk segi delapan, karena mengikuti posisi tiang sebagai dasar, yang melambangkan ketidak berpihakan posisi ditengah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan tidak bersifat diskriminasi, sedangkan Wanat (sasak) ketinggian 6 meter bersegi 3 tiga lonjong lurus keatas, maksudnya adalah ketajaman berfikir. Selain itu di atas wanat terdapat beberapa symbol seperti simbol kepala banteng melambangkan kekuatan, kaki sapi melambangkan tegaknya berdiri, Bintang-bintang melambangkan . . ., kalulu, melambangkan duduknya bendera adat, dan merah putih, dan leher burung Garuda, komadan artinya mulut setan, melambangkan penangkal musuh.
Didalam rumah adat juga dilengkapi dengan taba dan dederu, taba artinya tempat makanan, sedangkan dederu artinya tempat duduk (bangku), melambangkan ketertiban pada saat makan adat.
Atu (atap) yang dibuat dari daun rumbia dipakai dengan tujuan melindungi masyarakat dari hujan dan terik matahari. Tulang atau totori melambangkan hukum adat dan daun rumbia melambangkan hukum negara, sehingga bermakna negara berkewajiban melindungi hukum adat, daun rumbia juga bermakna bulu burung Garuda sebagai pengganti sayap.[2] Tali yang dipakai menggunakan tali moa bukan paku, sedangkan untuk totora diikat dengan tali gumutu yang dibuat dari pohon seho (diun), alasan dipakai tali tersebut karena memiliki daya pikat yang kuat dan tahan lama,
Ukir-ukir yang digunakan dalam balok-balok (igasuhu) dibagian kanan atas, tergambar jenis kelamin laki-laki dan perempuan, ukiran tersebut melambangkan apabila terjadi perselingkuhan atau perjinahan diselesaikan dirumah adat, tidak bisa diselesaikan ditempat lain atau rumah orang, dan symbol tersebut dikenal sebagai asas mengenali diri dan jati diri masyarakat desa Loce
[1] Sumber, Bpk Hidayat Pane, Tokoh adat Sahu dari Goger Tacim Kecamatan Sahu, diwawancara pada tanggal 12 Januari tahun 2011, di Desa Loce.
[2] Sumber Bapak Hidayat, desa Tacim, dan Martinus Doge, Asal Desa Loce kepala Adat diwawancara tanggal 12 Januari 2011.